Jumat, 09 April 2010

Untuk Mama Papua, Bukan Pasar Biasa






Perjuangan SOLPAP Untuk Pasar Affirmative Bagi Mama Papua
Kutipan tulisan dari : Walhamri Wahid
Kamis, 25 Maret 2010

Dari tahun ke tahun Mama Yomima masih tetap “taduduk” di emper trotoar depan Supermarket Gelael, beralaskan karung goni bekas pake` gulung kangkung jualannya, bertudung handuk kumal yang sudah tiga hari tra` pernah cuci, ia tetap setia menjajakan pinang, kangkung, dan bunga pepaya. Dia berjualan sudah hampir 10 tahun seperti itu, seumur Otsus yang katanya untuk orang Papua seperti dirinya.



Mama ini setiap hari dengar di radio, atau dengar biasa pejabat dong pidato di depan kitorang bahwa sekarang itu su` ada Otsus, yang katanya bisa angkat torang orang Papua pu` derajat, tapi sampai hari ini torang tetap begini, baru kapan torang ini bisa seperti orang Cina dorang, Makate (Makassar), atau orang Jawa dorang, padahal ini kita pu` tanah, pemerintah harus bisa jawab ini semua, kami su` bosan dapat tipu !
Ungkapan kekesalan itu meluncur deras dari mulut seorang perempuan Papua yang berprofesi sebagai penjual pinang dan sayur – mayur lokal di emperan depan Supermarket Gelael. Di tengah kegetiran hidupnya, ia harus bertahan hidup dan dipaksa bersaing dengan “sang supermarket” yang juga menjual sayur – mayur sejenis yang dari ikatannya sudah pasti lebih kecil tapi di kemas lebih mewah sehingga menarik pembeli untuk membeli di supermarket ketimbang membeli di mama – mama Papua yang berjualan di emperan.



Ironisnya hampir sebagian besar orang Papua yang nota bene berstatus pejabat lebih memilih berbelanja di Supermarket tersebut ketimbang di mama – mama Papua yang taduduk di emperan.
Rupanya status dan suasana belanja yang nyaman lebih menggoda ibu – ibu pejabat kita untuk berbelanja di Supermarket dari pada di pinggir jalan, pertanyaannya apakah Pemerintah tidak bisa mengangkat sedikit derajat mama – mama Papua ini dengan menyediakan fasilitas yang sedikit layak bagi mereka ? Biar para pejabat kita juga betah berlama – lama berbelanja di pasar itu ?
Itulah substansi perjuangan Solidaritas untuk Mama – Mama Pedagang Asli Papua (SOLPAP), dimana mereka berharap paling tidak dengan adanya sebuah pasar yang representatif bagi mama – mama pedagang Papua, cipratan Otsus yang konon katanya sudah mulai berhasil itu bisa terlihat dan dinikmati juga oleh mama – mama pedagang asli Papua itu.
“yang kami inginkan bukan konsep pasar seperti pasar kebanyakan yang sudah ada di Papua maupun Indonesia, bagi mama – mama Papua ini perlu satu konsep pasar yang berpola afirmative dan memberikan perlindungan serta pendampingan kepada mereka melalui serangkaian pendidikan dan pelatihan tanpa harus mereka meninggalkan aktivitas mencari nafkah”, tandas Rudolf Kambayong, OFM selaku Koordinator SOLPAP.
Menurut Kambayong dan rekan – rekan aktivis LSM lainnya yang menjadi pendamping pasar yang ada saat ini bukannya semakin memberdayakan mama – mama Papua, tapi justru semakin menyisihkan mereka, karena mereka belum siap menghadapi persaingan bebas, jadi diperlukan sebuah pendekatan baru.
“kami sudah punya gambar dan konsep yang selama ini sudah kami presentasikan ke banyak pihak, kami berharap itu yang menjadi rujukan bagi Pemerintah dalam membangun pasar itu nantinya”, jelas Kambayong lagi.
Impian dan perjuangan panjang SOLPAP nampaknya tidak bertepuk sebelah tangan, dimana seperti disampaikan oleh Plt. Sekda Provinsi Papua, bahwasanya telah dianggarkan Rp 5 Milyard untuk menjawab tuntutan mama – mama pedagang asli Papua itu, dimana dana tersebut dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum.
“ya, dalam waktu dekat ini kami akan segera realisasikan pembangunannya, dimana kosepnya mengadopsi kebiasaan dan budaya masyarakat Papua dalam melakukan jual beli”, tandas Kadinas PU Provinsi Papua Jansen Monim.
Sedangkan untuk lokasinya direncanakan berada di areal milik PD. Irian Bhakti, tepatnya di eks Toko Kawat samping Toko ABC Jayapura.
“sedang dalam proses tender, mudah – mudahan selesai cepat !”, kata Jansen Monim kepada Bintang Papua kemarin.
Paling tidak statement yang dilontarkan petinggi di Pemprov itu bisa sedikit membawa angin segar bagi mama – mama Papua dan selanjutnya menjadi tugas SOLPAP untuk memastikan bahwa janji itu tidak berhenti pada tataran janji semata, dan yang terpenting konsep pasar yang dibangun nantinya bukan sekedar pasar kebanyakan, namun harus bersifat memberdayakan mama – mama Papua.
Perjuangan SOLPAP sendiri secara intensif sudah dimulai sejak tahun 2008 lalu, dimana serangkaian pertemuan dilakukan dengan Pemkot, DPRD dan DPRP, bahkan ketika itu sampai harus dialokasikan dana mencapai Rp 1 Milyard lebih untuk pembentukan Panitia Khusus (Pansus).
Dimana dari Pansus tersebut dibentuk lagi 3 Kelompok Kerja (Pokja), yakni Pokja Desain dan Konstruksi, Pokja Lokasi, dan Pokja Dana atau pembiayaan, namun menurut pantauan SOLPAP seperti disampaikan Rudolf Kambayong hanya Pokja Desain yang aktif melakukan beberapa pertemuan namun ujung – ujungnya desain usulan SOLPAP jugalah yang beberapa waktu lalu di presentasikan kanan kiri, karena Pokja juga tidak menelurkan apa – apa.
“Pansus waktu itu diketuai Yan Ayomi, ketika itu sempat terjadi saling lempar tanggung jawab antara Pemprov dengan Pemkot”, tutur Kambayong mengingat bagaimana perjuangan SOLPAP selama ini melakukan advokasi terhadap mama – mama Papua.
Dimana dalam pertemuan dengan Pemkot 10 Oktober 2008, Pemkot mengaku tidak memiliki dana untuk itu dan menegaskan itu menjadi tanggung jawab Pemprov, dan pada 14 Oktober 2008 SOLPAP mencoba mengirim proposal namun tidak mendapat tanggapan.
Setelah menanti sekian lama, akhirnya 14 September 2009 barulah mama – mama pedagang asli Papua bisa bertemu dengan Gubernur yang kebetulan saat itu tengah kedatangan tamu Duta Besar Inggris.
“dua tahun lamanya kami meminta waktu untuk bertemu dengan Gubernur baru kesampaian 14 September lalu, dan itu juga karena ada kunjungan Dubes sehingga Gubernur berkenan menerima kami, dan pada kesempatan itulah Gubernur mengutarakan janji menuntaskan urusan ini di 2010”, cerita Kambayong.
Perjuangan tanpa kenal lelah itu nampaknya bakal terjawab sudah, namun sekali lagi dibutuhkan persatuan untuk terus mengingatkan pemerintah, bahwa ini adalah persoalan serius yang harus ditangani segera, jangan hanya sekedar janji semata.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar